Pengembangan Arkanul Bai’ah dan Aplikasinya
Keberimanan terhadap Islam sebagai agama samawi yang diturunkan Allah SWT memang sudah final. Tetapi, pemahaman manusia terhadap Islam tidak dapat dikatakan sudah mencapai final sehingga berhenti pada satu titik.
Jalan-jalan untuk mencapai pemahaman Islam dalam konteks syumuliyah dan takamuliyahnya adalah jalan-jalan yang sangat panjang dan beragam. Setiap zaman dan keadaan memerlukan penyajian tersendiri dari ajaran Islam yang maha dalam maknanya ini. Firman Allah SWT,
وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ
“Orang-orang yang berjihad di jalan Kami
sungguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah menyertai
orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. 29/Al-Ankabuut: 69).
Ibn Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan walladziina
jaahduu fiinaa adalah Rasulullah SAW, para sahabatnya, dan pengikutnya
sampai hari kiamat nanti. Sedangkan yang dimaksud subulanaa adalah
jalan-jalan untuk urusan dunia dan akhirat.
Terkait dengan hadits tentang Mu’adz bin Jabbal yang
diutus oleh Rasulullah SAW ke negeri Yaman dan menyatakan akan melakukan
ijtihad apabila tidak diperoleh nash dalam Al-Quran dan As-Sunnah dalam
memutuskan perkara, banyak yang menekankan bahwasanya pintu ijtihad belum
tertutup. Dari waktu ke waktu muncul ulama-ulama besar dengan pikiran dan pendapatnya
yang segar dan baru berdasarkan pemahaman mereka tentang nash-nash Al-Quran dan
As-Sunnah.
Sebagian kelompok hanya memperhatikan aspek fiqh dalam
masalah pembukaan ijtihad dari masa ke masa ini. Tetapi, sesungguhnya lapangan
ijtihad itu luas, tidak sekadar masalah fiqh saja tetapi di dalam berbagai
bidang yang terkait dengan urusan dunia dan akhirat.
Seharusnya kejumudan juga tidak terjadi pada aktivis
kebangkitan Islam sebagaimana disampaikan Yusuf Qaradhawi, “ Imam Hasan Al-
Banna bukanlah seorang yang jumud (statis) tetapi justru progresif dan dinamis.
Ia selalu memanfaatkan semua yang ada di sekekelilingnya, melakukan dinamisasi
diri dan dakwahnya. Seandainya ia berumur panjang kita tidak tahu apa yang akan
diperbuatnya. Sebab itu saudara-saudara dan pengikutnya tidak boleh statis
dalam berbagai sarana, metode, ataupun bagian pemikirannya.”
Pemahaman yang terlalu kaku dengan pendapat yang
terkait dengan situasi kontekstual tertentu akan menyebabkan seorang aktivis
dakwah tidak mampu berinteraksi dengan problema yang dihadapinya pada masa
kini.
Demikian pula arkanul bai’ah yang disusun oleh
Imam Hasan Al- Banna bukanlah sesuatu yang bersifat mati atau jumud sehingga ia
akan menjadi masa lalu dari para kader dakwah. Padahal ia harus membaca,
memahami, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari yang terus berjalan.
Interaksi formal dengan arkanul bai’ah sebagai
sebuah pengantar ke dalam pergaulan jama’ah dakwah mungkin saja telah berlalu
satu, dua, lima, sepuluh, atau dua puluh tahun yang lalu. Namun secara nilai
penghayatan terhadap arkanul bai’ah terjadi setiap saat dalam berbagai lapangan
medan dakwah.
Penghayatan tersebut diharapkan justru semakin
mendalam dari hari ke hari. Oleh karena itu, rukun al-fahm (pemahaman)
harus terus dikembangkan mengikuti jalan dakwah menuju ke-syumuliyah-an
dan ke-takamuliyah-an. Begitu juga rukun ikhlas. Kualitas dan
kapasitas ikhlas kita harus terus-menerus dikembangkan mengikuti perjalanan
dakwah yang terus diperlebar ruang lingkupnya sesuai dengan tuntutan syumuliyah
dan takamuliyah dakwah kita.
Begitu juga kualitas dan kapasitas amal kita, jihad
kita, tadhiyah (pengorbanan) kita, tha’ah (ketaatan)
kita, tsabat (kekokohan) kita, tajarrud (kesungguhan)
kita, al-ukhuwah (persaudaraan) kita, dan tsiqah
(kekokohan) kita harus terus-menerus dikembangkan.
Seharusnya peningkatan kualitas dan kapasitas
interaksi dengan arkanul bai’ah mendahului ekspansi dakwah yang
dilakukan agar arkanul bai’ah itu menjadi pemicu, pemacu, dan pemecut
bagi akselerasi gerakan dakwah itu sendiri agar arkanul bai’ah itu
mempercepat tercapainya ahdafu da’wah (sasaran-sasaran dakwah) dan ghayatu
da’wah (tujuan-tujuan dakwah).
Interaksi dengan arkanul bai’ah sangat
berpengaruh terhadap kualitas komitmen kepada dakwah dan kepada jamaah. Begitu
interaksi dengan rukun-rukun itu tertinggal dan terhenti pada pada satu titik,
maka komitmen yang dihasilkannya tidak mumpuni lagi untuk menyambut ekspansi
dakwah yang terus-menerus berkembang.
Politik dan Dakwah: Pandangan Hasan Al-Banna
Dakwah tidak dapat dipisahkan dari politik (siyasah)
karena tujuan dakwah itu sendiri adalah untuk pengendalian (siyasah)
sebagaimana firman Allah SWT,
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ
بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى
بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan
membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua
agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (Q.S. Al-Fath: 28).
Kehadiran Islam dalam wujud sebuah institusi yang
mengendalikan telah menjadi obsesi dari Imam Syahid Hasan Al-Banna sebagaimana
ungkapannya yang disampaikan kepada para pemuda, “Adalah sangat mengherankan
sebuah paham seperti komunisme memiliki negara yang melindunginya, yang
mendakwahkan ajarannya, yang menegakkan prinsip-prinsipnya, dan menggiring masyarakat
untuk menuju ke sana. Demikian juga paham fasisme dan nazisme, keduanya
memiliki bangsa yang mensucikan ajarannya, berjuang untuk menegakkannya,
menanamkan kebanggaan kepada para pengikutnya, menundukkan seluruh ideologi
bangsa-bangsa untuk mengekor kepadanya. Dan lebih mengherankan lagi, kita
dapati berbagai ragam ideologi sosial politik di dunia ini bersatu untuk
menjadi pendukung setianya. Mereka perjuangkan tegaknya dengan jiwa, pikiran,
pena, harta benda, dan kesungguhan yang paripurna, hidup dan mati
dipersembahkan untuknya. Namun sebaliknya, kita tidak mendapatkan tegaknya
suatu pemerintahan Islam yang bekerja untuk menegakkan kewajiban dakwah Islam,
yang menghimpun berbagai sisi positif yang ada di seluruh aliran ideologi dan
membuang sisi negatifnya. Lalu ia persembahkan itu kepada seluruh bangsa
sebagai ideologi alternatif dunia yang memberi solusi yang benar dan jelas bagi
seluruh persoalan umat manusia.” (Majmu Rasail I: 184).
Dalam kesempatan lain Imam Hasan Al-Banna menyatakan, “Sesungguhnya
seorang muslim tidak sempurna keislamannya kecuali jika ia bertindak sebagai
politisi. Pandangannya jauh ke depan terhadap persoalan umatnya, memperhatikan
dan menginginkan kebaikannya. Meskipun demikian, dapat juga saya katakan bahwa
pernyataan ini tidak dinyatakan oleh Islam. Setiap organisasi Islam hendaknya
menyatakan dalam program-programnya bahwa ia memberi perhatian kepada persoalan
politik ummatnya. Jika tidak demikian, maka ia sendiri yang sesungguhnya butuh
untuk memahami makna Islam.”
Suatu catatan penting dari Imam Hasan Al-Banna adalah
peringatannya tentang adanya pemahaman yang sempit bahwa jika disebut dengan
politik maka orang-orang akan segera membayangkan sebuah partai politik.
Politik yang dimaksudkannya bukanlah sekadar sebuah partai politik, tetapi
keseluruhan aktivitas dakwah yang dilakukan untuk mengurusi nasib umat hingga mengangkat
mereka ke kedudukan sebagaimana yang diperintahkan Al-Quran di tengah-tengah manusia.
Bahkan, terhadap partai politik yang berkembang saat
itu Al-Banna mempunyai kritikankritikan yang mendasar, “Ikhwanul Muslimun
berkeyakinan bahwa partai-partai politik yang ada di Mesir didirikan dalam
suasana yang tidak kondusif. Sebagian besar didorong oleh ambisi pribadi, bukan
demi kemaslahatan umum…. Ikhwan juga berkeyakinan bahwa partai-partai yang ada
hingga kini belum dapat menentukan program dan manhajnya secara pasti… Ikhwan
berkeyakinan bahwa hizbiyah (sistem kepartaian) yang seperti itu akan merusak
seluruh tatanan kehidupan, memberangus kemaslahatan, merusak akhlak, dan
memporakporandakan kesatuan umat.”
Korelasi Amal Siyasi dengan Arkanul Bai’ah
Amal siyasi sebagai bagian penting dari keseluruhan
amal Islami harus mendapat perhatian serius dari para aktivis dakwah dan bai’at
mereka kepada jalan dakwah adalah bai’at mereka pula kepada amal siyasi.
Dakwah Islam tidak menyerukan sikap memisahkan diri
dari persoalan-persoalan kemasyarakatan yang ada dalam tubuh umat Islam. Jika
pun terdapat upaya-upaya memilah lingkungan kehidupan para aktivis dakwah dari
masyarakat umum, maka tujuannya bukan untuk lari dari masyarakat yang menjadi
tanggung jawab dakwahnya. Tetapi, hal itu dilakukan hanya untuk konsolidasi
internal mereka agar memiliki kekuatan yang lebih besar dalam memecahkan
persoalan-persoalan masyarakat tersebut. Atau, agar mereka tidak tergelincir
karena tarikan-tarikan dasyhat kemaksiatan sehingga ia akhirnya justru menjadi
bagian dari persoalan tersebut.
Allah Berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ
كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ . وَمَنْ
يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا
إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ
الْمَصِيرُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan
orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi
mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka di waktu itu, kecuali
berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan
yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari
Allah, dan tempatnya adalah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.”
(Q.S. 8/Al-Anfaal: 16).
Kefahaman tentang amal siyasi yang dikembangkan
pada saat ini boleh jadi berbeda dengan sebelumnya karena perbedaan-perbedaan
situasi dan kondisi yang menyertainya. Pandangan Imam Hasan Al-Banna tentang
sistem kepartaian yang menyebabkan beliau tidak mendirikan partai politik, tetapi
membolehkan kesertaan dalam pemilihan umum telah diposisikan secara aktual
dalam beberapa kurun terakhir. Partai-partai politik dalam berbagai bentuknya
telah berdiri dan diusung oleh para aktivis dakwah di berbagai negara dalam
rangka amal siyasi mereka berdasarkan syuro-syuro yang mereka lakukan.
Amal siyasi yang dilakukan bukanlah sekadar untuk meraih kekuasaan
dan mencapai kedudukan-kedudukan tinggi dalam pemerintahan, tetapi semata-mata
ditujukan bagi penegakkan hukum-hukum Allah SWT di dalam masyarakat berdasarkan
prinsip-prinsip keadilan yang telah digariskan-Nya. Inilah rukun ikhlas yang
akan menjauhkan aktivis dakwah dari perangkap kediktaktoran, korupsi, dan
kesombongan tatkala meraih suatu kedudukan dalam kekuasaan.
Setiap aktivis menyadari sungguh-sungguh dengan
kefahamannya dan keikhlasannya bahwa amal siyasi yang dilakukannya
adalah bagian dari kerja besar dari tangga-tangga mihwar ta’sisi, mihwar
tanzhimi, mihwar sya’bi, mihwar muasasi dan mihwar dauli. Dalam
kaitan koalisi kerja teknis Imam Hasan Al-Banna menyatakan, “ Tidaklah
mengapa menggunakan orang-orang non-muslim --jika keadaan darurat-- asalkan
bukan untuk posisi jabatan strategis (dalam pemerintahan).”
Kesungguhan dalam kerja siyasi adalah bagian
dari jihad yang harus dilakukan. Kesungguhan itu akan terjadi jika aktivis
dakwah menghargai dan mematuhi jalan dakwah yang telah digariskan berdasarkan
syuro. Tidak boleh ada seorang pun yang bermalas-malasan dalam bidang ini hanya
lantaran ia merasa bukan bidangnya atau tidak sependapat dengan hasil-hasil
syuro.
Apapun yang disumbangkan dalam amal siyasi,
mulai dari harta sampai dengan jiwa, adalah bagian dari ruhul tadhiyah (jiwa
pengorbanan) di jalan dakwah. Tidak ada istilah mati sia-sia dalam suatu amal
siyasi karena seluruh pengorbanannya harus diyakini akan dihisab oleh Allah
SWT dengan timbangan kebaikan dakwah.
Ketaatan dalam janji setia aktivis dakwah adalah
ketaatan yang penuh selama masih dalam jalan Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada
ketaatan yang bersifat setengah-setengah, misalnya hanya kepada perintah-perintah
atau kesepakatan-kesepakatan dalam bidang sosial saja, sedang dalam politik ia membangkang.
Termasuk dalam perkataan fi makrahi (dalam keadaan tidak menyenangkan)
adalah ketaatan kepada hal-hal yang ketika bersyuro kita tidak sependapat
dengan hasil keputusannya.
Keteguhan (tsabat) adalah bagian penting dalam dakwah
ini dan lebih istimewa lagi dalam amal siyasi. Jika dalam amal
ij’timaiy mungkin banyak pujian yang datang tetapi dalam amal siyasi kondisinya
terbalik, banyak orang yang merasa terancam dengan kehadiran dakwah dan Islam
di panggung politik, banyak orang yang apriori dan bahkan memusuhinya sebagai
bagian dari konspirasi global yang sudah terjadi sejak masa Nabi Muhammad SAW.
Resiko-resiko yang diterima tanpa ada keteguhan akan
menjadi dasar penyesalan atas keputusan yang telah disepakati, padahal waktu
adalah bagian dari solusi. Keberhasilkan perjuangan seringkali tidak dapat
diukur dalam waktu yang pendek.
Amal siyasi yang diperjuangkan adalah amal siyasi yang
islami. Ini adalah komitmen yang tidak boleh berubah, meskipun tawaran-tawaran
berbagai ideologi sangat banyak dalam dunia politik. Manhaj Islam sedemikian
terang benderangnya, dan oleh karenanya aktivis dakwah tidak akan terjebak pada
pemikiran dan metode yang tidak jelas hanya karena ketidak-sabarannya bekerja
dengan waktu.
Ini adalah makna tajarrud (kemurnian total)
dalam arkanul bai’ah yang sepuluh. Dunia politik adalah dunia yang
memiliki karakteristik tersendiri sehingga banyak orang mengatakan “politik itu
kotor”. Perkataan itu sesungguhnya tidak benar karena dunia sosial, perdagangan,
bahkan dunia dakwah itu sendiri dapat saja menjadi “kotor” oleh perbuatan
seseorang atau sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab. Namun demikian,
memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak perpecahan, persengketaan,
permusuhan diantara teman, intrik dan fitnah terjadi di dunia politik.
Oleh karena itu, jika rukun ukhuwah diabaikan dan
tidak bekerja maksimal dalam amal siyasi, semua kemungkinan dan kekhawatiran
itu dapat juga terjadi pada diri kita.
Terakhir, perlu direnungkan makna tsiqah yakni
menyiapkan rasa puas kepada pemimpin atas kapasitas kemimpinannya dan maupun
keikhlasan, dengan kepuasan yang mendalam yang menghasilkan perasaan cinta,
penghargaan, penghormatan, dan ketaatan. Semakin jauh jenjang organisasi dari
titik pusat pengambil keputusan rukun tsiqah ini akan semakin signifikan
dalam membangun komitmen.
Tentu, rukun ini tidak menghilangkan fungsi pemimpin
sebagai guru dan pembimbing kepada para anggota sehingga kepuasan itu hadir
dengan penuh qana’ah tidak terpaksa. Keputusan-keputusan dalam amal
siyasi dalam kadar tertentu kadangkala memang begitu rumit karena demikian kompleksnya
persoalan yang dihadapi. Ketsiqahan diantara aktivis dakwah dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya degradasi soliditas karena adanya keputusan-keputusan qiyadah yang
belum terpahami.
Kontribusi Komitmen Bai’ah Aktual dalam Dakwah
Kekuatan interaksi terhadap arkanul bai’ah akan
dapat mempertahankan penampilan kinerja dan manhaj amaliy aktivis dakwah
sehingga bisa diandalkan dalam persaingan antaraliran, antarahzab (partai-partai)
dengan aneka ragam mabadi (ideology). Insya Allah dengan komitmen
interaktif yang kontinyu terhadap arkanul bai’ah jamaah dakwah akan mempunyai
mazhhar (penampilan) yang sanggup menghadapi tantangan rivalitas yang
semakin tajam antar-aliran ideologis dan antar-pemikiran yang ada di lapangan.
Mazhhar jama’ah yang diharapkan tumbuh dan berkembang dari
interaksi dengan arkanul bai’ah yang terus-menerus itu ialah:
1. Mazhhar
atsbatu mauqifan (penampilan dalam kekokohan sikap) yakni
sikap yang paling teguh di antara sikap-sikap yang ditampilkan oleh
golongan-golongan, madzhab-madzhab dan aliran-aliran lain. Sikap yang tidak mudzabdzab,
(plin-plan), yang tidak mancla-mencle, yang tidak memble menghadapi
tantangan-tantangan yang semakin kuat dan terang-terangan. Sekali lagi,
tantangan yang semakin terang-terangan mengingat kita sekarang ada di era jahriyah
(keterbukaan). Sikap teguh kita harus ditampilkan secara penuh dalam
kinerja, performance dakwah jama’ah, dan partai kita. Kekokohan sikap
adalah tampilan awal yang merupakan buah dari kekuatan yang ditumbuhkan oleh
aqidah kita.
2. Mazhar
arhabu shadran.
Keteguhan sikap itu tidak melahirkan sikap yang kaku karena selain ada aqidah
yang rasikh, aqidah yang kuat, tetapi juga ada akhlaqul karimah yang
akan melahirkan arhabu shadran (kelapangan dada). Di atas kekokohan
sikap itu kita paling bisa dan paling sanggup berlapang dada dalam menghadapi
realitas kehidupan, dalam menghadapi tantangan, dalam bermuamalah menghadapi
berbagai sikap-sikap lain. Termasuk ketika kita berinteraksi dengan sesama kelompok
Islam yang kebetulan mereka belum satu manhaj dengan kita dengan
perlakuan dan sikap-sikap mereka yang tidak menyenangkan.
3. Mazhar
a’maqu fikran (penampilan kedalaman dalam berfikir) dalam
menghadapi aneka situasi dan kondisi sehingga kita tidak meresponnya secara i’tijaliyah
(ketergesa-gesaan). Kita selalu berfikir secara muta’anni (sangat
mendalam) dan mutama’in (intens), dalam menentukan langkah-langkah kita
dengan proses dan prosedur yang benar yang sudah kita sepakati bersama. Tidak boleh
ada satupun keputusan jamaah ini yang tanpa melalui proses a’maqu fikran yang
dalam praktiknya kita wujudkan dalam wadah syuro yang selalu kita jaga.
Sehingga tidak ada alasan dari kita untuk tidak mendukung sikap yang diambil
oleh jama’ah, karena proses dan prosedur yang diambil sudah benar dengan tetap
tidak terburu-buru.
4. Dalam
memandang fenomena kehidupan dan perjuangan ini kita harus mempunyai mazhhar
awsa’ nazhoron (penampilan dengan pandangan yang lebih luas).
Kita harus mempunyai pandangan yang sangat luas, seluas ufuq yang bisa
dijangkau oleh mata kita. Kita tidak boleh mempunyai pandangan mutajamid (pandangan
kebekuan) yang sempit, hizbiyah (mengagungkan golongan) dan madzhabiyah
(mengagungkan aliran). Kita harus memiliki pandangan yang sangat luas karena
sasaran dari dakwah yang sudah dicanangkan adalah bina-ul fard (peminaan
individu), bina-ul mujtama’ (peminaan masyarakat), bina-ud daulah (pembangunan
negara), bina-ul khilafah (pembangunan khilfah) hingga ustadziyatul
‘alam (sokoguru semesta alam).
Di sana kita harus memancangkan rahmatan lil
‘alamin sehingga setiap makhluk hidup --bukan manusia saja-- merasakan sentuhan
rahmat dari kita. Tidak mungkin kita melakukan itu bila kita tidak mempunyai
pandangan yang sangat luas terhadap kehidupan ini.
5. Kita
harus didukung dengan Mazhhar ansyathu ‘amalan (penampilan
sebagai pihak yang paling giat bekerja). Karena mazhhar-mazhhar sebelumnya
harus dibuktikan dalam ansyathu ‘amalan (kegiatan kerja). Hendaknya
beramal paling keras dan menjadi aktivis/amilin yang paling giat, efektif dalam
mengarahkan tenaga dan potensinya serta langkah-langkahnya selalu terarah
dengan tepat (khutuwat al athifah). Itu adalah refleksi dari aqidah dan
fikrah kita.
6. Begitu
juga kita menyadari sepenuhnya bahwa syumuliyatul Islam tidak mungkin diperjuangkan
secara individual, tapi harus diperjuangkan secara jama’iy (kolektif).
Maka, kita pun harus menampilkan secara struktural ashlabu tanzhiman
(organisasi yang paling solid dan kokoh bagaikan baja). Tanzhim kita
tanzhim yang kokoh tidak gampang reot oleh benturan-benturan yang diarahkan
oleh lawan-lawan, musuh-musuh, pesaing-pesaing, atau oleh orang-orang yang
belum memahami dakwah kita.
Kita tetap teguh. Keputusan jama’ah tidak pernah
dihasilkan oleh pressure, tekanan, ancaman apapun. Semuanya, yang
penting, proses prosedur berjalan maka kita putuskan dengan mengabaikan tekanan
dari manapun. Ini sebagai pembuktian dari ashlabu tanzhiman.
7. Mazhhar aktsaru naf’an (penampilah sebagai pihak yang paling banyak memberi manfaat). Dulu sering saya katakan bahwa kita dituntut oleh Allah SWT untuk menjadi orang-orang yang produktif menghasilkan kebajikan-kebajikan. Sebab, pada dasarnya secara fitriyah kita sudah menjadi orang-orang yang konsumtif. Kalau masalah konsumtif tidak perlu didorong, tidak perlu diprogram, karena sudah sudah menjadi tabiat dasar. Begitu lahir kita mengkonsumsi kebajikan ibu, kebajikan ayah, kebajikan saudara-saudara kita, kebajikan tetangga-tetangga yang menimang-nimang kita.
Wallahu’alam.
(Taujih ust. Hilmi Aminuddin, Lc.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar