Jumat, 23 Juni 2023

Kompromi Rasulullah


 

Ibnu Ishak menceritakan sebuah kisah tentang tindakan yang pernah diambil Rasulullah SAW tatkala cobaan dan situasi genting terasa semakin berat. Saat itu, menjelang perang Ahzab, bangsa Arab telah siap bersatu mengeroyok dan mengepung kaum Muslimin dari segala penjuru. Termasuk Bani Ghatafan.

 

Rasulullah SAW kemudian mengirim delegasinya kepada Uyainah bin Hishin dan al-Harits bin Auf al-Murri. Keduanya adalah komandan pasukan Ghatafan. Melalui delegasi itu, beliau menawarkan 1/3 hasil panen kota Madinah, dengan syarat mereka berdua bersedia menarik pasukan Ghatafan meninggalkan Madinah.

 

Terjadilah suatu perundingan damai antara beliau dengan kedua orang Ghatafan itu. Sepucuk surat perjanjian pun kemudian ditulis. Namun, sebelum menandatangani surat perjanjian tersebut, Rasulullah memanggil Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah. Kepada keduanya beliau mengemukakan rencana tersebut, dan meminta masukan mereka berdua.

 

Berkata keduanya, “Ya Rasulullah, apakah ini suatu perintah yang Anda ingin supaya kami melaksanakannya, ataukah ini sesuatu yang diperintahkan Allah yang mesti kami laksanakan, atau sesuatu yang ingin Anda lakukan untuk kebaikan kami?”

 

Rasulullah menjawab, “sesungguhnya ini adalah sesuatu yang ingin aku lakukan untuk kebaikan kalian. Demi Allah, aku lakukan ini, tak lain karena aku melihat seluruh bangsa Arab telah membidikkan anak-anak panah mereka dari satu busur (maksudnya: bersatu mengeroyok), dan telah mengepung kalian dari segala penjuru. Oleh karena itu, aku ingin menghancurkan kekuatan mereka yang tertuju terhadap kalian sedapat mungkin.”

 

Namun, kaum Anshor menolak usulan tersebut. Mereka lebih memilih tindakan lain yang didasarkan pada upaya meningkatkan kepercayaan diri pasukan Muslim, dan memperkuat ketangguhannya.

 

 

Pelajaran penting

 

Kisah di atas memberi beberapa pelajaran berharga kepada kita, yaitu:

 

1. Kisah ini menegaskan tentang keleluasaan gerak dalam perjuangan dakwah. Bagaimanapun seorang pemimpin harus berupaya sedapat mungkin mencari berbagai alternatif langkah sebagai upaya memperoleh kebaikan dan kemaslahatan bagi dakwah.

 

2. Pentingnya bertindak cepat bagi penyelamatan dakwah, meskipun boleh jadi langkah yang diambil itu bukan langkah terbaik yang menentukan, tapi merupakan langkah maju dalam perjalanan menuju kemenangan.

 

3. Kebolehan ‘berkompromi’ dengan musuh dakwah asal tidak mengorbankan hal yang bersifat prinsip. Penawaran 1/3 hasil panen kota Madinah kepada Uyainah bin Hishin dan al-Harits bin Auf al-Murri, jelas-jelas merupakan bentuk kompromi, dan itu sah-sah saja dalam upaya mencari cara untuk menyerang musuh atau memporak-porandakan barisan mereka. Seandainya tindakan itu sesuatu yang terlarang atau bahkan dianggap kelemahan dan dosa, maka Rasulullah tidak akan menjadikannya sebagai salah satu alternatif.

 

4. Kedudukan syuro amat penting dalam sebuah gerakan dakwah. Tentu saja hal itu dilakukan dalam hal-hal yang tidak ada ketetapan nash al-Quran dan sunnah Nabi SAW. Pertanyaan Sa’ad bin Muadz dan Sa’ad bin Ubadah kepada Rasulullah menunjukkan hal tersebut. Mereka sudah siap tunduk kepada usulan Nabi, jika memang itu ketetapan kenabian atau perintah Allah SWT.

 

Seorang pemimpin hendaknya tidak bersikap otoriter. Ia harus mau mendengar saran dan usulan dari pihak lain, termasuk dari bawahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Rukun Bai'ah dalam Amal Siyasi

  Pengembangan Arkanul Bai’ah dan Aplikasinya Keberimanan terhadap Islam sebagai agama samawi yang diturunkan Allah SWT memang sudah final. ...