Suksesi atau pergantian kepemimpinan bagi
sebuah organisasi adalah sebuah keniscayaan. Baik itu organisasi kecil maupun
besar. Selain untuk memperbaiki manajemen, sebuah organisasi sangat perlu
melakukan suksesi untuk melakukan ‘penyegaran’ dengan seorang pemimpin yang
baru. Karena masa jabatan pemimpin yang terlalu lama-bahkan diset selamanya-akan
cenderung melahirkan sikap otoriter, hegemonic, arogan, dan korup.
Ada banyak model pergantian kepemimpinan yang
sering dipakai. Semakin kecil skup sebuah organisasi maka semakin sederhana
proses suksesi yang dilakukan. Begitupun, organiasi yang besar akan lebih
kompleks prosesnya, bahkan cenderung menimbulkan ekses negatif dari pihak yang
merasa tidak puas dengan hasil suksesi tersebut.
Baca juga: Kompromi Rasulullah
Sebagai contoh, yang real dan sering kita
dengar beritanya, adalah pergantian kepemimpinan di Partai Politik (Parpol),
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah atau cabang. Kemelut dan keributan
sering terjadi menyertai proses suksesi sebuah Parpol, bahkan kadangkala-karena
ketidakpuasannya-pihak yang kalah melepaskan diri dan mendirikan Parpol baru. Tak
perlulah di sini disebutkan contoh-contoh Parpol yang demikian.
Bagi organisasi yang lebih besar, negara
misalnya, proses suksesi akan lebih rumit lagi dan membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Tapi ini tidak berlaku untuk negara-negara yang menganut sistem
kerajaan.
Untuk negara-negara yang tidak berbentuk
kerajaan, proses pergantian kepemimpinan yang dilakukan salah satunya dengan
pemilihan umum (pemilu), seperti yang dilakukan di negara kita. Untuk pemilu
2024 nanti, DPR bersama pemerintah dan penyelenggara Pemilu telah menyepakati
besaran dana pelaksanaan Pemilu 2024 sebesar Rp76,6 triliun. (sumber: dprgoid).
Selain berbiaya mahal, pemilu di Indonesia
dari peroiode ke periode selalu melahirkan konflik yang kadangkala konflik
tersebut tidak selesai dalam dua tiga bulan. Bahkan konflik yang terjadi pasca
pemilu 2014 sampai sekarang masih terasa dan selalu semakin panas tiap
mendekati pemilu.
Dalam Islam tidak ada aturan baku untuk
proses pergantian kepemimpinan. Dan menariknya, empat pergantian kepemimpinan
(khalifah) pasca Rasulullah wafat tidak sama, alias ada empat model.
Empat proses suksesi empat khalifah
tersebut mengisyaratkan bahwa proses suksesi itu tidak baku, tidak mutlak harus
satu model. Untuk mengetahui keempat model suksesi tersebut, berikut
penjelasannya.
Suksesi dari Rasulullah ke Abu Bakar
Setelah Rasulullah Saw wafat, Abu Bakar
Ash-Shiddiq ditunjuk sebagai khalifah. Namun sebelumnya terjadi perdebatan
antara kaum Muhajirin dan Anshar.
Dikutip dari buku ‘Inilah Faktanya’ karya
'Utsman bin Muhammad al-Khamis, Imam al-Bukhari meriwayatkan: Isma'il bin
'Abdullah menceritakan kepada kami: Sulaiman bin Bilal menceritakan kepada kami
dari Hisyam bin 'Urwah: “Urwah bin az-Zubair mengabarkan kepadaku dari Aisyah,
istri Nabi, ia menuturkan tidak lama setelah Rasulullah wafat, orang-orang
Anshar berkumpul menghadap Sa'ad bin 'Ubadah di saqifah Bani Sa'idah dan berkata:
"Kami akan mengangkat pemimpin kami, dan silakan kalian mengangkat
pemimpin kalian".
Namun, perdebatan itu berhenti tatkala Umar
bin Khaththab berkata sambil memegang tangan Abu Bakar, “Kami akan membaiat
engkau. Engkaulah pemimpin kami, orang yang terbaik di antara kami, dan orang
yang paling dicintai Rasulullah di antara kami".
Setelah Umar memegang tangan Abu Bakar dan
membaiatnya. Lalu, orang-orang yang hadir pun berdiri dan membaiat Abu Bakar.
Bisa dikatakan keputusan penunjukkan Abu
Bakar sebagai khalifah, pengganti Rasulullah, diambil melalui konsensus, atau
kesepakatan bersama. Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun, dari 632
sampai 634 M.
Suksesi dari Abu Bakar ke Umar bin
Khaththab
Dalam buku "Kisah Hidup Umar bin Khattab"
karya Mustafa Murrad, dijelaskan bahwa Abu Bakar sudah merasa yakin bahwa sosok
yang cocok untuk menggantikannya menjadi khalifah adalah Umar bin Khaththab. Namun,
beliau tetap meminta pertimbangan sahabat-sahabat terkemuka lainnya, seperti
Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Thalhah bin Ubaidillah. Dan ketiga
sahabat tersebut sepakat dengan pilihan Abu Bakar.
Abu Bakar kemudian meminta Utsman bin Affan
untuk menulis surat wasiat tentang penunjukan Umar bin Khaththab. Beliau
mendiktekan kalimat-kalimat yang harus ditulis Utsman bin Affan. Surat wasiat
itu lalu disegel dengan stempel khalifah dan disimpan sebagai dokumen negara.
Khalifah Abu Bakar pun meminta untuk
membacakan surat wasiat tersebut di hadapan kaum Muslimin. Dan pembacaan surat
wasiat tersebut sekaligus sebagai pembaiatan Umar bin Khaththab sebagai
khalifah pengganti Abu Bakar.
Pakar hukum Jimly Asshiddique dalam
bukunya, "Islam dan Kedaulatan Rakyat", menuliskan bahwa penunjukkan
Umar oleh Abu Bakar ini menurut al-Baqillani sah dan bijaksana karena beberapa
alasan. Pertama, karena motivasinya baik dan tidak diragukan. Kedua, pilihan
terhadap Umar adalah pilihan yang logis, karena tidak ada orang lain yang lebih
tepat untuk menduduki jabatan khalifah setelah Abu Bakar selain Umar. Ketiga,
tindakan memberikan wasiat kekuasaan kepada penggantinya itu secara hukum
adalah sah. Sebab, itu diambil Abu Bakar selaku khalifah yang berwenang untuk
mengambil tindakan demikian.
Khalifah Umar bin Khaththab memerintah
selama sepuluh tahun (634-644 M). Selama masa itu beliau mampu memperluas
wilayahnya Islam hingga ke Mesopotamia, Persia, Syam, Mesir, Afrika Utara, dan
Armenia. Termasuk menguasai Yerusalem pada 637, setelah beliau diberikan kunci
kota oleh Pendeta Sophronius.
Baca juga: Periode Kepemimpinan Umat Islam
Suksesi dari Umar bin Khaththab ke
Utsman bin Affan
Setelah mengalami penusukan oleh seorang
budak Persia bernama Abu Lulu'ah (Fairuz), dan merasa harus segera menunjuk
penggantinya sebagai khalifah, Umar bin Khaththab pun membentuk majelis syuro
yang beranggotakan enam orang sahabat utama, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin
Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Wqash, dan
Abdurrahman bin Auf.
Dalam kitab ‘Bidayah wan Nihayah’ karya
Ibnu Katsir djelaskan bahwa Umar merasa berat untuk memilih salah seorang di
antara mereka.
Umar berkata, "Aku tidak sanggup untuk
bertanggung jawab tentang perkara ini baik ketika aku hidup maupun setelah aku
mati. Jika Allah menghendaki kebaikan terhadap kalian, Dia akan membuat kalian
bersepakat untuk menunjuk seorang yang terbaik di antara kalian sebagaimana
telah membuat kalian sepakat atas penunjukan orang yang terbaik setelah Nabi
kalian Saw".
Keenam sahabat tersebut kemudian melakukan
musyawarah, dan akhirnya terpilih tiga kandidat. Zubair bin Awwam memilih Ali
bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqash memilih Abdurrahman bin Auf, dan Thalhahbin
Ubaidillah memilih Utsman bin Affan.
Namun, Abdurrahman bin Auf kemudian berkata,
"Sesungguhnya aku melepaskan hakku untuk salah seorang di antara kalian (Utsman
dan Ali), Allah sebagai saksinya. Sungguh akan diangkat sebagai khalifah salah
seorang yang terbaik di antara dua orang yang tersisa."
Abdurrahman bin Auf lalu diangkat sebagai
arbitrator untuk memilih antara dua kandidat yang tersisa. Dia pun berkeliling
Madinah menjumpai para sahabat untuk meminta pendapat mereka.
Abdurrahman bin Auf kemudian memanggil Ali
bin abi Thalibn dan Utsman bin Affan. Beliau berkata kepada Ali, “Wahai Ali,
aku telah berkeliling menghimpun pendapat berbagai kalangan, dan ternyata
mereka lebih memilih Utsman. Aku berharap engkau menerima ketetapan ini.”
Setelah berkata kepada Ali, dia berkata
kepada Utsman: “Aku membaiatmu atas nama sunnah Allah dan Rasul-Nya, juga dua
khalifah sesudahnya.”
Setelah Abdurrahman berkata demikian kepada
Utsman, Ali bin Abi Thalib berdiri dan menjabat tangan Utsman bin Affan. Ali
menjadi orang kedua yang membaiat Utsman sebagai khalifah pengganti Umar. Saat
itu juga semua kaum muslimin yang hadir serempak membaiat Utsman sebagai
khalifah kaum muslimin.
Pengangkatan Utsman bin Affan diawali
melalui proses musyawarah di majelis syuro yang dibentuk khalifah sebelumnya,
Umar bin Khaththab.
Baca juga: Urgensi Syuro
Suksesi dari Utsman bin Affan ke Ali bin
Abi Thalib
Di masa kekhalifahan Utsman bin Affan,
mulai terjadi pemberontakkan. Hepi Andi Bastoni dalam bukunya ‘101 Sahabat
Nabi’ menulis sebagai berikut,
‘Enam tahun pertama masa pemerintahan
Utsman bin Affan berjalan dengan damai, namun enam tahun berikutnya terjadi
pemberontakan. Sayangnya Utsman tidak dapat menindak tegas para pemberontak
ini. Beliau selalu berusaha unruk membangun komunikasi yang berlandaskan kasih
sayang dan kelapangan hati. Tatkala para pemberontak memaksa beliau untuk
melepaskan kursi kekhalifahan, beliau menolak dengan mengutip perkataan Rasulullah
Saw, "Suatu saat nanti mungkin Allah Swt akan memakaikan baju padamu,
wahai Utsman. Dan jika orang-orang menghendakimu untuk melepaskannya, jangan
lepaskan hanya karena orang-orang itu."
Setelah terjadi pengepungan yang lama,
akhirnya pemberontak berhasil memasuki rumah Utsman dan membunuh beliau. Utsman
bin Affan syahid pada hari Jum'at, 17 Dzulhljjah 35 H setelah memerintah selama
dua belas tahun, sejak tahun 644 M.
Sejak terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan, ketegangan terus melanda kota Madinah. Banyak kelompok pemberontak yang
berkeliaran di sana. Untuk menenangkan keadaan, para pemuda kemudian mendesak
Ali bin Abi Thalib untuk segera menggantikan Utsman. Ali didukung oleh ketiga
pasukan yang datang dari Mesir, Basrah, dan Kufah, serta penduduk Madinah.
Semula Ali menolak, Dia menyatkan masih ada sahabat yang lebih dulu berjuang
bersama Nabi Muhammad Saw di antaranya Thalhah bin Ubaidillah dan Sa'ad bin Abi
Waqash.
Mendengar alasan Ali, kaum Muslimin
mengajak Thalhah dan Sa'ad untuk bergabung membai'at Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah. Mereka berdua setuju dan terjadilah pembai'atan Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah yang keempat yang berlangsung di Masjid Nabawi pada bulan
Zulhijah tahun 35 H (656 M). Sejak saat itu, Ali bin Abi Thalib resmi menjadi
khalifah dan memimpin selama 4 tahun 9 bulan.
Dengan demikian pengangkatan Ali bin Abi
Thalib menggantikan khalifah Ustman bin Affan dilakukan secara aklamasi.
Demikian empat proses suksesi yang terjadi
pada empat khalifah pengganti Rasulullah Saw. keempatnya tidak ada yang sama
sehingga kita mendapatkan empat model suksesi. Dengan demikian keempat model
ini dapat diterapkan dalam proses pergantian kepeminpinan di sebuah organisasi.
Demikian, semoga bermanfaat.
#politikislam
#sirohnabawiyah
#fikihdakwah