Senin, 29 Mei 2023

Beberapa Hal tentang Perbedaan Pendapat

 



Latar Belakang

 

Perbedaan pendapat seringkali menjadi pemicu konflik. Dari konflik sederhana, hanya memunculkan debat kusir yang tak ada ujungnya, sampai konflik berupa bentrokkan fisik. Bahkan perbedaan dalam satu organisasi kadangkala menimbulkan perpecahan, dan berakhir dengan memisahkan diri dan membentuk organisasi yang baru.

 

Pertanyaannya, bolehkah berbeda pendapat?

Lalu kalau boleh, apa saja batasan-batasan kebolehannya?

 

Kenyataannya memang, khususnya dalam fiqih, banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqoha (ahli fiqih).

 

 

Pengertian Beda Pendapat

 

Perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha dalam bahasa Arab sering disebut dengan istilah ikhtilaf.

 

Secara bahasa, kata ikhtilaf maknanya adalah perbedaan atau berbeda, lawan dari sama atau

kesamaan. Dan secara istilah definisi perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah, ‘Perbedaan pendapat di kalangan fuqaha dalam salah satu hukum dari hukum-hukum yang terkait dengan masalah ijtihad’.

 

Dari definisi di atas, tulisan ini akan membatasi pembahasan ikhtilaf menjadi 3 hal, yaitu:

 

1. Perbedaan Antara Fuqaha. Yaitu perbedaan yang terjadi antara orang yang sama-sama berkompeten di bidangnya, yaitu para fuqaha.

 

2. Dalam Masalah Hukum. Objek yang menjadi titik perbedaan pendapat di antara mereka hanya terbatas pada penetapan kesimpulan hukum, yang mereka ijtihadkan dari sumber-sumber yang dibenarkan, juga lewat proses ijtihad yang memenuhi standar.

 

3. Pada Wilayah Yang Dibolehkan untuk Berijtihad. Yaitu masalah yang hukum yang kita tidak menemukan dalilnya secara jelas, baik di dalam AlQuran atau pun di dalam As-Sunnah. Oleh karena itu kemudian dibutuhkan ijtihad, yang dilakukan oleh fuqaha yang memang ahli di bidang ijtihad.

 

 

Bolehkah umat Islam berbeda pendapat dalam masalah agama?

 

Tanpa perlu menjelaskan secara teoritis, dan dengan mengingat kejadian (perbedaan pendapat) yang terjadi antara malaikat, antara Nabi dan Rasul, antara Nabi dan para sahabat, antara para sahabat Nabi, serta antara para ulama, kita otomatis mendapat jawaban. Bahwa perbedaan pendapat itu dibolehkan.

 

Perbedaan Pendapat Malaikat 

 

Malaikat adalah makhluk yang tidak diberi hawa nafsu oleh Allah swt, tetapi sekali pun begitu tetap terjadi beda pendapat di antara mereka. Kasusnya terjadi pada kisah seseorang yang bertaubat karena telah membunuh 99 nyawa ditambah satu nyawa. Dalam perjalanan menuju taubatnya, Allah

mencabut nyawanya. Maka berikhtilaflah dua malaikat tentang nasibnya.

 

Malaikat kasih sayang ingin membawanya ke surga lantaran kematiannya didahului dengan taubat nashuha. Namun rekannya yang juga malaikat tetapi job-nya mengurusi orang pendosa ingin membawanya ke neraka, lantaran masih banyak urusan dosa yang belum diselesaikanya terkait dengan hutang nyawa.

 

Bayangkan, bahkan dua malaikat yang tidak punya kepentingan hewani, tidak punya perasaan,

tidak punya kepentingan terpendam, tetap saja ditaqdirkan Allah SWT untuk berbeda pendapat.

 

 

Perbedaan Pendapat Para Nabi

 

Meski para Nabi dan Rasul memiliki kedudukan yang mulia serta mendapatkan ‘ishmah (penjagaan)

dari Allah SWT agar tidak tercebur ke dalam dosa, namun dalam prakteknya masih dimungkinkan

mereka berbeda pandangan. Bukan dengan kaumnya, tetapi dengan sesama Nabi dan Rasul, yang

sama-sama menjadi utusan Allah SWT.

 

Nabi Musa pernah berselisih dengan saudaranya, Nabi Harun. Perselisihan itu bukan hanya sebatas perang kata-kata, bahkan Nabi Musa sampai menarik rambut dan jenggot saudaranya itu dengan marah dan kecewa.

 

Berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, .

(sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku? Harun menjawab, "Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata, "Kamu telah memecah antara Bani Israil

dan kamu tidak memelihara amanatku". (QS. Thaha : 92-94)

 

Perbedaan Pendapat Antara Nabi Musa dan Nabi Khidhir, saat Nabi Musa selalu mempertanyakan semua tindakan Nabi Khidir. Meski pada akhirnya beliau selalu harus dibuat mengerti. Tetapi intinya, beda pemahaman itu adalah sesuatu yang wajar dan mungkin terjadi. Bahkan di kalangan sesama para nabi. Dan tidak ada kebenaran tunggal dalam hal ini. Dikisahkan di surat Al-Kahfi dari ayat 65 sampai 70.

 

Perbedaan Pendapat Antara Nabi Sulaiman dan Nabi Daud, yang dikisahkan di surat Al-Anbiya ayat 78.

“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.”

 

 

Perbedaan Pendapat Nabi Muhammad dan Shahabat

 

Seperti dalam kisah penempatan pasukan saat perang Badar. Sahabat Khabab bin Mundzir memberi saran kepada Rasulullah untuk memindahkan pasukan.

 

Masih di perang Badar. Saat banyak kaum Quraisy banyak yang ditawan. Rasulullah dan juga Abu Bakar cenderung untuk membebaskan tawanan dengan sejumlah tebusan. Namun, Umar bin Khattab berpendapat lain. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, mereka ini telah mengusir dan mendustakanmu. Bunuhlah saja mereka. Mereka ini bukanlah orang-orang kafir biasa. Mereka ini pemimpin orang-orang kafir, yang sejak awal mempunyai niat membawa senjata dan mempersiapkan segala hal untuk memerangi kita.”

 

Allah kemudian menurunkan wahyu yang membenarkan pandangan Umar bin Khattab. Allah berfirman dalam surah al-Anfal ayat 67-68,

“Tidak patut seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki pahala di akhirat untukmu. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.”

 

 

Perbedaan Pendapat Para Shahabat 

 

Bahkan perbedaan itu bukan hanya terjadi selepas Rasulullah SAW wafat, bahkan jauh ketika beliau SAW masih berada di tengah-tengah mereka sendiri. Seperti dalam peristiwa shalat Ashar di perkampungan bani Quraidhah.

 

Saat itu para shahabat terpecah dua, sebagianshalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah,

meski telah lewat Maghrib, karena pesan Nabi adalah,

“Janganlah ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah.” (HR.

Bukhari)

 

Namun sebagian yang lain tidak shalat di sana, tetapi di tengah jalan namun pada waktunya.

Lalu apa komentar nabi, adakah beliau membela salah satu pendapat? Jawabnya tidak. Beliau tidak

menyalahkan kelompok mana pun karena keduanya telah melakukan ijtihad dan taat kepada perintah. Hanya saja, ada perbedaan dalam memahami teks sabda beliau. Jadi, khilaf di masa kenabian sudah

terjadi dan tetap menjadi khilaf.

 

 

Perbedaan Pendapat Para Ulama

 

Para ulama, khususnya dari empat mazhab yang berbeda, Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah

dan Al-Hanabilah, banyak berbeda pendapat dalam masalah fiqih yang sifatnya cabang (furu'iyah).

 

Sebagian dari mereka ada yang membaca basmalah saat membaca surat Al-Fatihah dalam shalat, namun sebagian dari mereka tidak membacanya. Sebagian dari mereka mengerjakan qunut pada

shalat shubuh dan menetapkan hukumnya sunnah muakkadah, sementara sebagian lain menetapkan

hukumnya bid'ah.

 

Namun meski mereka berbeda-beda dalam pendapat, namun perbedaan itu tidak sampai mencegah mereka dari shalat berjamaah, dimana imam dan makmum berbeda mazhab dan pendapat.

 

Al-Imam Asy-Syafi'i tegas menyebutkan bahwa qunut pada shalat shubuh hukumnya sunnah muakkadah. Namun beliau sengaja meninggalkan qunut ketika shalat di masjid dekat dengan maqam

Al-Imam Abu Hanifah. Ketika ditanya kenapa saat itu meninggalkan qunut pada shalat shubuh, beliau

menjawab, "Apakah saya harus menentang Abu Hanifah di hadapan beliau?"

 

 

Batas Kebolehan Perbedaan Pendapat

 

Meski pun berbeda pendapat itu dibolehkan, namun tetap ada batasan dimana kebolehan itu berlaku. Batasan-batasan tersebut adalah:

 

1. Masalah Cabang dan Bukan Fundamental

 

Perbedaan pendapat di kalangan ulama hanya diperbolehkan bila berada di wilayah cabang, baik

dalam tema aqidah maupun dalam tema fiqih.

 

Contoh tema aqidah yang merupakan dasar adalah kita beriman bahwa Allah SWT bersifat Esa

tidak berbilang dan tidak ada yang menyamai Dirinya. Sedangkan tema aqidah tapi wilayah cabang

adalah apa saja yang termasuk nama dan sifat Allah. Seperti apa yang dimaksud dengan kursi Allah,

termasuk juga masalah wajah, tangan, kaki, dan lainnya. Para ulama boleh berbeda pendapat dalam

masalah cabang seperti ini dan tidak akan membuat mereka menjadi kafir atau masuk neraka.

 

Contoh tema syariah yang menjadi bagian dasar misalnya bahwa shalat lima waktu itu hukumnya

wajib bagi setiap muslim. Sedangkan contoh tema syariah yang menjadi bagian furu' adalah apakah

qunut pada shahat shubuh itu hukumnya sunnah atau bid'ah. Para ulama dibolehkan berbeda

pendapat dalam hukum qunut shubuh ini, tetapi tidak boleh berbeda pendapat tentang disyariatkan

lima waktu shalat yang wajib.

 

2. Beda Pendapat Bukan Perpecahan

 

Yang juga seringkali kurang dipahami oleh banyak orang adalah kesan bahwa perbedaan pendapat pada tingkat cabang berarti perpecahan. Padahal antara perbedaan pendapat dengan perpecahan masih ada jarak yang sangat jauh.

 

3. Beda Pendapat Bukan Permusuhan

 

Perbedaan pendapat yang diharamkan adalah yang melahirkan permusuhan dengan sesama muslim, apalagi sesama para ulama dan juru dakwah. Kalau pun secara lahiriyah terpaksa umat ini berpisah, tidak berada dalam satu kelompok atau jamaah, minimal mereka tidak boleh bermusuhan. Sebab permusuhan itu akan sangat melemahkan umat. Maka sepanas apapun berbedaan pendapat di antara sesama umat Islam, tidak boleh sampai terjadi permusuhan, dendam, atau pun tindakan-tindakan anarkis.

 

4. Adab dan Akhlaq Berbeda Pendapat

 

Dan biasanya permusuhan itu akan semakin berkobar, manakala perbedaan pendapat itu diwarnai pula dengan tindakan dan ucapan yang tidak terpuji. Maka kalau pun terpaksa harus berbeda

pendapat, haram hukumnya untuk saling melempar cacian, hinaan, cemoohan, bahkan mendoakan

keburukan dan tindakan-tindakan negatif lainnya.

 

 

Sebab Perbedaan Pendapat

 

Adapun sebab perbedaan ulama dalam teks yang lafadznya mengandung kemungkinan makna lebih

dari satu adalah sebagai berikut :

 

1. Perbedaan Makna Lafadz Teks Nash

 

Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadz tersebut umum (mujmal) atau lafadz yang

memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadz memiliki arti umum dan khusus, atau lafadz yang memiliki makna hakiki atau makna menurut adat kebiasaan, dan lain-lain.

Contohnya, lafadz al quru’ memiliki dua arti; haid dan suci (Al Baqarah :228). Atau lafadz perintah

(amr) bisa bermakna wajib atau anjuran. Lafadz nahy; memiliki makna larangan yang haram atau

makruh.

 

2. Perbedaan Riwayat Hadits

 

Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadis. Faktor perbedaan riwayat ada beberapa, diantaranya:

 

> Hadis itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai kepada perawi lainya atau

> Sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada lainnya dengan jalan perawi yang kuat atau

> Sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah seorang ahli hadis melihat satu jalan perawi lemah namun yang lain menilai jalan itu kuat atau

> Dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat hadis. Perbedaan ini berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi sebagai pembawa hadis, atau

> Sebuah hadis sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam beramal dengan hadis itu. Seperti hadis mursal.

 

3. Perbedaan Kaidah Ushul Fiqih

 

Seperti kaidah usul fiqih yang berbunyi "Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi hujjah

(pegangan)", "mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak dijadikan dasar", "tambahan terhadap nash

quran dalam hukum adalah nasakh (penghapusan)" kaidah-kaidah ini menjadi perbedaan ulama.

 

4. Ijtihad dengan Qiyas

 

Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas memiliki asal (masalah inti sebagai

patokan), syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah syarat dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa diterima. Di sinilah muncul banyak perbedaan hasil qiyas disamping juga ada kesepakatan antara ulama.

 

5. Pertentangan Antar Dalil

 

Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab ini ada yang berpegang dengan takwil, ta'lil, kompromi antara dalil yang bertentangan, penyesuaian antara dalil,

penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan. Pertentangan terjadi biasanya antara nash-nash atau antara qiyas, atau antar sunnah baik dalam perkataan Nabi dengan perbuatannya, atau dalam penetapan-penetapannya. Perbedaan sunnah juga bisa disebabkan oleh penyifatan tindakan Rasulullah SAW dalam berpolitik atau memberi fatwah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Rukun Bai'ah dalam Amal Siyasi

  Pengembangan Arkanul Bai’ah dan Aplikasinya Keberimanan terhadap Islam sebagai agama samawi yang diturunkan Allah SWT memang sudah final. ...