Hadis merupakan salah satu
referensi, selain Al-Quran, yang harus dijadikan acuan seorang Muslim dalam
semua aktivitas kehidupannya. Ada ribuan hadis yang diriwayatkan para periwayat
hadis seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam At-Tirmizi, Imam
An-Nasai, Imam Ibnu Majah, dan yang lainnya.
Dari ribuan hadis tersebut, oleh
Imam Nawawi diambil 42 hadis yang kemudian dikumpulkannya dalam sebuah kitab kecil
yang dikenal dengan Hadits Arbain atau Arbain Nawawi. Banyak yang menyebutkan
bahwa keempat puluh hadis tersebut merupakan pokok-pokok ajaran Islam.
Salah satu hadis dalam Hadits
Arbain tersebut adalah hadis tentang perintah untuk meninggalkan sesuatu yang
meragukan dan mengambil sesuatu yang tidak meragukan. Redaksi hadis tersebut
adalah sebagai berikut,
“Da’ maa yariibuka ilaa maa
laa yariibuka”.
(Tinggalkan apa yang meragukan
dan kerjakan apa yang tidak meragukanmu)
Perawi (periwayat) hadis ini adalah
Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw. Matan (redaksi) hadisnya
sederhana, singkat, tetapi maknanya dalam dan sangat penting untuk dipahami
serta dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim.
Hadis ini bahkan dikatakan yang
mendasari adanya kaidah ushul fiqh yang berbunyi ‘Al-Yaqqinu laa yazaalu
bisy-syak’, yang artinya ‘Keyakinan tidak bisa dihapus dengan keraguan’.
Penjelasan hadis yang singkat ini
sangat luas, tidak akan cukup kalau mau diulas lengkap hanya dengan
menuliskannya dengan beberapa kalimat. Namun, secara sederhana saya akan
menjelaskan sebagian dari ulasan hadis ini.
Kaidah ushul fiqh serta makna
hadis di atas secara sederhana bisa dijelaskan sebagai berikut. Misalkan,
setelah melaksanakan salat Maghrib kita melakukan berbagai aktivitas, seperti
membaca, menulis, makan, atau apapun, sampai terdengar azan salat Isya. Lalu
muncul keraguan dalam diri kita, sudah batal belum ya wudu kita? Maka, keraguan
itu harus ditinggalkan dan kembalikan pada yang yakin, yaitu kita dalam keadaan
berwudu. Jadi saat hendak melaksanakan salat Isya, tidak perlu berwudu lagi.
Kita yakin sudah berwudu, karena
telah melaksanakan salat Maghrib.
Kita ragu-ragu, apakah batal atau
tidak, selama melakukan aktivitas antara Maghrib dan Isya.
Maka, ambil yang yakin.
Lain halnya kalau kita kemudian
buang angin (kentut) dan kita sadari. Maka yang kita yakini adalah kita sudah
batal wudu (tidak ragu), sehingga harus berwudu lagi sebelum melaksanakan salat
Isya.
Itu contoh kasus sederhana dalam
mengimplementasikan hadis di atas. Dalam hal lain, hadis ini juga bisa dijadikan
filter saat menerima berbagai informasi, termasuk yang berkenaan dengan
pelaksanaan ibadah.
Sudah kita rasakan bersama, di
era internet sekarang ini, kita tidak bisa mencegah derasnya arus informasi
menghampiri kita. Setiap pagi saat membuka grup-grup Whatsapp, sering kita
dihadapkan pada puluhan broadcast yang memenuhi ruang chat grup, baik itu
berupa video (youtube atau tiktok) atau teks yang terkadang tidak jelas siapa
penulisnya. Dan, informasi-informasi yang kita terima itu sering mempengaruhi
keyakinan kita atas sesuatu yang sebelumnya kita yakini kebenarannya.
Misalnya saja, kita selama ini
melaksanakan ibadah salat sesuai yang kita pelajari dari ustad yang kita
percaya dan dari kitab-kitab yang direkomendasikannya. Kemudian kita menerima informasi,
dari informasi yang tersebar di grup-grup, bahwa apa yang kita lakukan
(pelaksanaan salat) itu salah. Maka, sikap kita sebaiknya tetap dengan yang
kita yakini dahulu.
Adapun informasi yang kita terima
melalui grup WA itu, kita anggap meragukan dan tidak diikuti. Namun, tidak
begitu saja ditolak juga. Hal-hal baru, yang untuk sementara kita ragukan, itu
harus memancing keingintahuan kita. Sehingga kemudian kita mempelajarinya
dengan serius sampai kita yakin hal itu memang ada dalilnya, ada referensinya.
Setelah mempelajarinya kita kemudian bisa melakukan perbandingan.
Keraguan terhadap sesuatu harus
memancing semangat kita dalam mencari ilmu. Sehingga jika hari ini kita ragu
terhadap suatu masalah, maka sepekan/sebulan/setahun kemudian kita jangan ragu
lagi, karena kita sudah mempelajarinya.
Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar