Salah satu hadis yang sering diajarkan kepada anak-anak TKIT, bahkan wajib dihafalkan, adalah hadis berikut,
“Laa taghdob falakal jannah”
(Jangan marah maka surga bagimu)
Dalam kalimat lain, bunyi hadis di atas bisa seperti ini, 'Kalau
mau masuk surga, jangan marah.'
Tapi apakah sesaklek itu?
Marah bisa mencegah kita masuk surga?
Mungkin jawabannya, ‘tergantung situasinya, tergantung
dasarnya, apa alasan rasa marah timbul’. Walaupun sikap marah memang bisa
mengganggu hubungan kita dengan orang lain. Tak jarang pertemanan yang lama
terjalin, bisa putus gara-gara satu pihak marah. Marah bisa menjadi virus yang
mengganggu Hablum minannas.
Lalu, apakah Rasulullah Saw tidak pernah marah?
Tentu saja pernah. Rasulullah Saw pun pernah marah. Cuma,
kalau beliau marahnya karena Allah Swt.
Mungkin muncul pertanyaan lagi, ‘Kapan Rasulullah marah?’
Setidaknya ada 3 hadis yang meriwayatkan beliau marah karena
ada alasan yang syar’i.
Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin (Ibunya
orang-orang beriman), Aisyah Ra.
"Rasulullah Saw tidak pernah menggunakan tangannya
untuk memukul sesuatu, baik istri maupun pembantu, kecuali sedang berjihad di
jalan Allah. Dan sama sekali tidak pernah dendam kepada orang yang
menyakitinya, kecuali jika larangan Allah dilanggar, maka beliau marah karena
Allah." (HR. Muslim, 4296).
Kedua, hadis yang juga diriwayatkan oleh Aisyah Ra.
Suatu hari terjadi kasus pencurian yang pelakunya seorang
wanita terhormat, karena wanita itu keturunan salah satu suku Quraisy
terkemuka.
Lalu, orang-orang dari suku Quraisy tersebut berkeinginan
supaya wanita tersebut tidak dijerat hukum, atau setidaknya hukumannya
diringankan.
Salah seorang dari mereka berkata, "Siapa gerangan yang
bisa menjadi penyambung lidah perihal pencurian ini kepada Rasulullah?"
Diantara mereka ada yang menjawab, "Siapa lagi yang
berani berbicara kepada beliau selain Usamah, dia orang yang dikasihi Rasulullah?"
Kemudian Usamah pun diutus untuk menghadap Rasulullah Saw
dan menyampaikan tentang kasus pencurian serta keinginan mereka tersebut.
Merah muka Rasulullah saw mendengar apa yang dikatakan
Usamah. Beliau kemudian bersabda, "Apakah engkau hendak memberi keringanan
dalam suatu hukuman di antara hukuman-hukuman yang ditetapkan Allah?"
Kemudian beliau berdiri menyampaikan khutbah, "Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian
adalah bahwa jika ada orang terkemuka di tengah mereka mencuri, maka mereka
lepaskan. Sedangkan jika orang lemah di tengah mereka yang mencuri, maka hukum
ditegakkan kepadanya. Demi Allah, kalau Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya
aku sendiri yang akan memotong tangannya." (HR. Muslim, 4410).
Rasulullah Saw sangat marah, karena diminta meringankan
hukuman untuk wanitah yang mencuri tersebut.
Ketiga, hadis yang diriwayatkan dari Abu Mas'ud Ra, dia
berkata, “Seorang laki-laki datang mengadu kepada Nabi Saw, lalu berkata,
"Sesungguhnya saya tidak ikut berjamaah salat subuh karena si Fulan
mengimami kita dengan bacaan yang panjang".
Mendengar pengaduan tersebut Rasulullah Saw pun marah. Abu
Mas'ud kemudian berkata, "Saya tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah
Saw semarah itu dalam menyampaikan petuah. Beliau bersabda, "Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya di antara kalian ada yang membuat orang-orang
menjauh. Siapa di antara kalian mengimami orang-orang, maka ringankanlah karena
sesungguhnya di tengah mereka ada yang sakit, ada yang tua, dan ada yang punya
keperluan." (Hr. Bukhari 6110, dan Muslim 466).
Ketiga riwayat di atas menunjukkan bahwa marah karena Allah
termasuk akhlak yang mulia. Bahkan Imam Nawawi dalam kitab riyadhusshalihin
menuliskan satu bab khusus tentang hal ini. Yaitu Bab ‘Marah ketika Kemuliaan Syariat
Dinistakan, dan Pembelaan terhadap Agama Allah Ta'ala’.
Jadi, marah yang menyebabkan kita terhalang masuk surga
adalah marah karena nafsu. Apalagi marah karena hal-hal yang sepele.
Marah-marah karena hal sepele ini yang mengganggu hubungan kita dengan orang
lain (Hablum minannas) menjadi tidak sehat. Ibarat virus jahat yang masuk ke
dalam tubuh, yang menyebabkan kita tidak sehat (sakit).
Kita memang sama dengan Rasulullah Saw, pernah marah. Namun,
bedanya kita dengan beliau dalam marah ini hanya ‘sedikit’.
Kalau Rasulullah Saw, marahnya sedikit.
Kalau kita, sedikit-sedikit marah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar